Mon. Nov 18th, 2024

Sejarah

Jemaat khusus GPM Bethlehem yang mayoritas anggota jemaatnya berasal dari etnis Tionghoa, mempunyai sejarah panjang yang dimulai  sekitar tahun 1930 dengan nama “Djoem’at Hok Im Tong,  Majelis Injili Tionghoa” atau kemudian  menjadi “Djama’at Hok Im Tong , Gereja Protestan Tionghoa”.  Hok Im Tong artinya : rumah kabar kesukaan (=rumah Injil). Orang-orang  Kristen Tionghoa  yang  terlibat secara  langsung dalam proses pekabaran Injil dan pendirian jemaat itu adalah bapak Wah Song (Kong A Yap), Nio Kie Tjing, Wah Fong (Kong A Sui), Sie To Tjing dan  Tjiang A Beng.    

Jadi, boleh dikatakan jemaat Hok Im Tong pada mulanya adalah “jemaat-rumah” yang terbentuk dari hasil pekabaran Injil para pedagang Tionghoa Kristen yang datang dari Tiongkok dan juga didukung dengan pelayanan  dan penginjilan dari pendeta-pendeta pribumi (dari GPI dan GPM)

Pada tahun 1931, seorang Tionghoa, Tjiang Tjin Thji ditugaskan sebagai penghentar jemaat yang bekerja sama dengan Pendeta Pensiunan A. Matatula, bapak J Pattiselano, bapak williams Daniel, Bapak N Huwae, dll. Namun, setelah satu tahun melayani di jemaat Hok Im Tong, Bapak Tjiang Tjin Thji meletakkan jabatan dan berpindah ke tempat lain untuk melakukan tugas Pekabaran Injilnya.

 Pendeta pensiunan A. Matatula sudah terlibat dalam pelayanan di jemaat Hok Im Tong sejak tahun 1931-an, namun karena usianya sudah lanjut, maka  ia meletakkan jabatannya pada tahun 1936, dan penggantinya adalah  pendeta pensiunan Simon Saimima. Pada tahun 1936 ini jemaat sudah mempunyai pengurus jemaat (Majelis jemaat) dan peraturan-peraturan khusus jemaat. Selain itu, jemaat ini sudah berada di bawah perlindungan dan pelayanan GPM yang diwakili oleh “Majels Jemaat Bandar Ambon” . Dalam hari-hari raya gerejawi, ibadah jemaat sering dihadiri oleh 2 orang Majels Jemaat Bandar  Ambon.

Dalam perang dunia kedua, anggota-aggota jemaat Hok Im Tong  banyak  melarikan diri  ke hutan-hutan dan terpencar-pencar untuk mencari perlindungan. Dalam situasi seperti itu, Pdt. S. Saimima tetap setia melayani, mengunjungi dan menghibur mereka, sekalipun harus menempuh jarak yang jauh karena tempat tinggal mereka terpencar-pencar.

Sesudah tahun 1945,  anggota-anggota jemaat Hok Im Tong  mulai kembali ke rumah mereka masing-masing. Mereka mulai berkumpul kembali dan  beribadah bersama di rumah sederhana yang disediakan bapak Liem Tjong Kie dan keluarganya.

Pada Desember 1946, pendeta S. Saimima tidak bisa aktif melayani lagi karena  kesehatannya semakin menurun dan sering terganggu. Untuk menghadapi kesulitan ini, maka Badan Pekerja Sinode GPM mengutus  para pengkhotbah untuk berkhotbah secara bergiliran di jemaat Hok Im Tong.

 Pada tahun 1947, Pendeta S. Saimima meninggal dunia, dan Badan Pekerja Sinode GPM mengangkat pendeta  J. Papilaya sebagai penggantinya. Setelah bekerja selama 6 tahun, pendeta Papilaya diberhentikan dengan hormat. Kemudian Badan Pekerja Sinode pada bulan Desember 1947 mengangkat pendeta  M. Latumahina. Ia bekerja dan melayani dengan baik. Namun, setelah bekerja 8 bulan , ia dipindahkan ke Saparua. Kemudian pada tahun 1948 Badan Pekerja Sinode GPM  memindahkan  pendeta V. Lewier dari Tepa (Babar) menjadi pendeta jemaat di jemaat Hok Im Tong. Ia mulai bertugas sejak 18 Juli 1948 sampai dengan 23 September 1956. Lalu ia dimutasikan ke jemaat  Rumah tiga.

Pada tahun 1954-1962  berturut-turut Pendeta Mozes Maitimu (1954-1956),  pendeta Nanu Tomasoa (1956-1958) dan Pendeta David Matatula  (1958-1962) melayani sebagai pendeta jemaat Hok Im Tong.

Sejak tahun 1962 sudah tampak ada sekelompok anggota jemaat yang ingin memisahkan dirinya dari GPM. Karena itu, ketua Majelis jemaat pada waktu itu ( Ibu Lien Liem)  meminta BP Sinode menempatkan pendeta GPM di jemaat tersebut, yaitu Bapak Pendeta A. N. Radjawane dan dibantu oleh Pdt. Izak Wattimena yang ditugaskan untuk mengatasi ketegangan dalam jemaat

Sesudah peristiwa G30 S pada tahun 1965,  timbul situasi politik yang melarang segala bentuk budaya dan bahasa Tionghoa; Itulah menyebabkan Jemaat Hok Im Tong mengubah namanya menjadi jemaat Bethlehem pada tahun 1968.

Pada tahun 1962-1970, didatangkan pula pendeta-pendeta dan penginjil, baik dari Gereja Kristen Indonesia Jatim , Pdt. Thio Kiong Djien ( Lukas Theopilus ),  maupun dari Gereja Kalam Kudus (dari Malang/lawang) seperti:  Pdt. Oei (lewi), Pdt Tju (1967), Penginjil Nn.Yau (1967),  kemudian tahun 1971-1978 ditempatkan pula Pdt. Hengky Tjam dari Gereja Kalam Kudus. Akibatnya terjadi ketegangan dan konflik antara anggota jemaat yang berpihak pada Pendeta-pendeta asal Gereja Kalam Kudus dengan anggota-anggota jemaat yang berpihak pada pendeta-pendeta asal GKI dan GPM.

Dengan terbentuk ibadah Malam yang menggunakan bahasa Mandarin dan  Ibadah pagi yang menggunakan bahasa Indonesia, maka terjadi pula pemisahan antara Pengurus Ibadah Malam (Orientasi Gereja Kalam Kudus), dengan Majelis Jemaat Ibadah pagi (Orientasi GPM). Ketegangan dan pemisahan ini berlanjut terus sampai dengan keluarnya sejumlah anggota jemaat Bethlehem dan mendirikan Gereja Kalam Kudus pada tahun 1978.

Mereka keluar karena ada  keputusan rapat bersama  BPH Sinode  GPM dan Majelis jemaat Bethelem untuk  menggabungkan Pengurus ibadah Malam dengan Majelis jemaat ibadah pagi, menjadi satu Majelis Jemaat Bethlehem. Situasi konflik ini dimungkinkan karena kurang jelas status jemaat Bethlehem ini sebagai jemaat GPM atau jemaat dari denominasi lain. Maka dengan surat Majelis Jemaat No.9/MJ/79 pada tanggal 16 November 1979, Majelis jemaat Bethlehem meminta agar BPH Sinode GPM menetapkan status jemaat Bethlehem dalam struktur organisasi GPM.  Menanggapi surat ini, maka BPH Sinode menetapkan status jemaat Bethelem sebagai jemaat Khusus dalam Gereja Protestan Maluku pada 25 Maret 1980 dengan SK No.30/IX/Org. Dengan demikian, jemaat Bethlehem menjadi jemaat GPM dengan kekhususan  pada etnis dan budaya Tionghoa dan misi khusus kepada masyarakat Tionghoa dan secara struktural berada langsung di bawah BPH Sinode GPM, namun secara fungsional turut berpartisipasi dengan Klasis GPM kota Ambon. 

Tahun 1980 berdasarkan SK Badan Pekerja Harian Sinode GPM No.30/IX/Org tanggal 25 Maret 1980, Hok Im Tong diterima sebagai bagian integral dari Gereja Protestan Maluku dan diberi status sebagai Jemaat khusus, dan berada langsung dibawah BPH Sinode GPM. Tahun 2012 pada sidang MPL di Tepa menghasilkan PO (Peraturan Organik) tentang Jemaat Khusus, sejak saat itu garis koordinasi Jemaat Khusus berada di Klasis dimana gedung gereja sebagai pusat pelayananan itu berada. Karena Gedung Gereja Hok Im Tong letaknya pada jalan Anthony Rhebok wilayah pelayanan Klasis Kota Ambon maka Jemaat Hok Im Tong Ambon termasuk dalam Klasis Kota Ambon.